Menantu Tidak Shalat, Orang Tua Menyuruh Anak Perempuannya Bercerai
Pertanyaan:
Assalamualaikum pak ustadz, dari awal pernikahan memang bpk saya tidak merestui kami, dikarenakan suami saya jarang2 sholatnya dari awal pernikahan pun belum pernah dia sholat aplg sholat jumat. Lalu suami sya sering tidak mengizinkan saya nginep dirumah ortu saya, ketambah saya sering sakit dan BB saya turun drastis. Karna tidak nyaman tinggal bersama mertua yang masih suka judi. Lalu ortu saya menyuruh saya untuk bercerai, tapi saya bingung ustad karna dari awal sya menikah hanya untuk ibadah. Apa yang harus saya lakukan pak ustad
Via Tanya Ustadz for Android
Jawaban:
Bismillah, Alhamdulillah wasshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Amma ba’du;
Diantara kesempurnaan syariat islam adalah bagaimana islam telah mengajarkan pemeluknya dalam melangkah kepada bahtera pernikahan. Agama ini mensyariatkan wali bagi wanita yang hendak menikah. Diantara hikmahnya ialah wali lebih memahami siapa yang lebih baik yang dapat menjadi pemimpin bagi putrinya. Oleh sebab itu hendaknya seorang wanita mentaati ayahnya dalam pemilihan jodoh selama yang menjadi dasar adalah keshalihan pelamar. InsyaAllah keberkahan ada didalam mentaati keduanya.
Bolehkah seorang ayah atau ibu menyuruh anak perempuannya bercerai?
Pada asalnya kedua orang tua tidak boleh menyuruh anak perempuannya bercerai kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat. Yang demikian termasuk Takhbib yaitu merusak hubungan seorang istri dengan suaminya. Perbuatan seperti ini termasuk hal yang diharamkan. Terdapat sebuah hadits yang mengancam seseorang yang melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
Bukan termasuk golongan kami seseorang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya. (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah (728 H) ditanya tentang wanita yang disuruh cerai oleh ibunya, apakah ia berdosa sebab ibunya mendoakan keburukan atasnya. Beliau menjawab:
إذا تزوجت لم يجب عليها أن تطيع أباها ولا أمها في فراق زوجها ولا في زيارتهم ولا يجوز في نحو ذلك؛ بل طاعة زوجها عليها إذا لم يأمرها بمعصية الله أحق من طاعة أبويها {وأيما امرأة ماتت وزوجها عليها راض دخلت الجنة}
Apabila seorang wanita telah bersuami maka tidak wajib mentaati ayah dan ibunya untuk bercerai dari suaminya, tidak pula untuk mengunjungi mereka atau yang semisalnya. Bahkan mentaati suami selama tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah lebih diutamakan dari mentaati kedua orang tuanya. (dalam sebuah hadits) “Sekiranya seorang wanita meninggal dan suaminya ridha terhadapnya niscaya ia masuk surga.”
Kemudian beliau melanjutkan:
وإذا كانت الأم تريد التفريق بينها وبين زوجها فهي من جنس هاروت وماروت لا طاعة لها في ذلك ولو دعت عليها. اللهم إلا أن يكونا مجتمعين على معصية أو يكون أمره للبنت بمعصية الله والأم تأمرها بطاعة الله ورسوله الواجبة على كل مسلم
Dan apabila ibu menginginkan perpisahan antara putrinya dengan suaminya maka dia termasuk jenis Harut dan Marut. Tidak ada ketaatan kepadanya dalam hal itu walaupun ibunya mendoakan keburukan atasnya. Kecuali jika keduanya berkumpul diatas kemaksiatan atau suaminya memerintahkan kepada putrinya untuk bermaksiat kepada Allah sedangkan ibunya memerintahkkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang wajib atas setiap muslim. (Majmu’ Al-Fatawa: 33/112-113)
Seorang anak perempuan yang telah menikah maka suaminya lebih berhak daripada kedua orang tuanya dan lebih wajib untuk ditaati selama tidak dalam kemaksiatan. Tentunya didalam hal ini karena hikmah yang besar. Terdapat banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan suami lebih wajib ditaati daripada kedua orang tua. Diantaranya;
Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: «زَوْجُهَا» قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: «أُمُّهُ»
Aku bertanya kepada Nabi ﷺ siapakah orang yang paling besar haknya untuk ditunaikan oleh seorang wanita? Maka Nabi ﷺ menjawab: Suaminya. Kemudian Aisyah Radhiyallahu ‘anha kembali bertanya: lalu Siapakah orang yang paling besar haknya untuk ditunaikan seorang laki-laki? Nabi ﷺ menjawab: Ibunya. (HR. An-Nasa’i)
Nabi Muhammad ﷺ berkata kepada seorang wanita:
«أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟» قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، قَالَ: «فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ»
Apakah kamu bersuami? Dia menjawab; Iya. Nabi ﷺ kembali bertanya; Bagaimana kepatuhanmu kepadanya? Wanita itu menjawab; Aku tidak pernah enggan menunaikan haknya kecuali apa yang aku tidak mampu. Lalu Nabi ﷺ bersabda; Lihatlah dimana dirimu dihadapannya karena sesungguhnya ia adalah surgamu atau nerakamu.” (HR. Ahmad)
Ibnu Qudamah (620 H) menukilkan perkataan imam Ahmad dalam kitabnya Al-Mughni:
قال أحمد، في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها، إلا أن يأذن لها.
Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang memiliki suami dan ibunya sedang sakit: mentaati suaminya adalah lebih wajib baginya dari ibunya, kecuali atas izin suami kepadanya. (Al-Mughni: 7/295)
Maka seorang wanita tidak wajib mentaati perintah kedua orang tuanya untuk bercerai. Meskipun demikian hendaknya ia tetap selalu berbakti kepada keduanya dengan terus bersilaturrahmi, mengunjunginya dan menunaikan hak-haknya yang lain. Begitu juga hendaknya sang suami memberikan kesempatan dan membantu istrinya dalam berbakti kepada kedua orang tuanya.
Hal diatas adalah keadaan apabila keduanya berkumpul diatas ketaatan. Lalu bagaimana jika sang suami tidak shalat?
Jika Suami Tidak Pernah Shalat
Terkait seorang suami yang tidak shalat maka ini adalah permasalahan yang tidak bisa dianggap biasa. Shalat adalah rukun islam yang kedua. Shalat adalah tiang agama. Shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat yang sekiranya sholatnya baik maka beruntung dan selamatlah ia, jika sebaliknya maka rugi dan celakalah ia. Apabila seseorang tidak shalat karena mengingkari kewajibannya maka ia dihukumi kafir keluar dari agama islam dengan kesepakatan kaum muslimin.
Sedangkan apabila seseorang meninggalkan shalat karena malas, sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah murtad keluar dari islam dan sebagian berpendapat dia adalah orang fasik, pelaku dosa besar yang dosanya lebih besar dari dosa mencuri, membunuh, zina atau dosa-dosa besar lainnya. Maka apakah seseorang rela apabila keislamannya diperselisihkan oleh para ulama karena ia malas tidak mau shalat?
Adapun apa yang harus dilakukan oleh seorang istri apabila suami tidak shalat telah dibahas dalam artikel sebelumnya. Silahkan dibaca pada artikel berikut:
Jika Suami Tidak Pernah Shalat
Pertanyaan:
Suami sama sekali tidak pernah shalat wajib tapi dia adalah tipe suami yang baik dan bertanggung jawab walau memang temperamental. Apakah saya harus terus mempertahankan rumah tangga sedangkan pemimpinnya tidak pernah shalat? Saya sudah sangat lelah menasehatinya dengan berbagai cara tapi tetap saja susah.
Terimakasih atas penjelasannya
Dari: Nuyun
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’du,
Sebelum mengupas tentang masalah yang Anda tanyakan, kita perlu memahami hukum meninggalkan shalat.
Ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya statusnya kafir. Karena berarti dia mengingkari hukum Allah dan ayat Alquran yang memerintahkan untuk mengerjakan shalat. Misalnya, ada orang beranggapan bahwa shalat itu tidak wajib, yang penting ingat Allah, itu sudah cukup.
Orang yang memiliki keyakinan semacam ini dihukumi murtad para ulama.
Sedangkan orang yang meninggalkan shalat, namun masih meyakini kewajibannya, diperselisihkan oleh ulama, apakah dihukumi murtad ataukah masih muslim.
Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafii berpendapat, tidak kafir, namun orang fasik. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. Imam Malik dan asy-Syafii berpendapat, orang yang meninggalkan shalat hukumannya dibunuh. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, dia dita’zir dan tidak dibunuh. Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan keluar dari islam (Tarik ash-Shalah, hlm. 1).
Ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat, statusnya murtad, berdalil dengan beberapa hadis, diantaranya,
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Sesungguhnya batas antara seorang muslim dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majah).
Keterangan Abdullah bin Syaqiq, seorang tabiin,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat. (HR. Turmudzi dan dishahihkan al-Albani).
Keterangan di atas memberi peringatan keras bagi kita tentang bahaya meninggalkan shalat. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang status kafir dan tidaknya, namun para ulama sepakat untuk memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkan shalat. Terlebih jika kita menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah orang murtad.
Kemudian, terkait status suami yang tidak pernah shalat, ada 2 keadaan yang perlu diperhatikan,
Pertama, si calon suami sudah meninggalkan shalat sejak sebelum menikah
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya seorang wanita yang menikah dengan lelaki yang tidak pernah melaksanakan shalat. Sebelumnya, Imam Ibnu Utsaimin termasuk ulama yang menilai kafir orang yang meninggalkan shalat.
Beliau menjawab,
Jika akadnya dilakukan ketika si lelaki sudah meninggalkan shalat maka akadnya tidak sah. Karena itu, dia wajib memisahkan diri darinya. Jika laki-laki ini masuk islam maka dia bisa memperbarui akad, dan jika tidak mau bertaubat, semoga Allah memberi ganti dengan lelaki yang lebih baik (Fatwa Islam, 4131)
Kedua, suami meninggalkan shalat setelah menikah atau setelah punya anak
Kasus semacam ini juga pernah ditanyakan kepada Imam Ibnu Utsaimin, dan beliau memberi jawaban:
Jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang meninggalkan shalat, baik berjamaah maupun sendirian maka nikahnya tidak sah. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah orang kafir. Sebagaimana disebutkan dalam dalil Alquran, hadis dan perkataan sahabat. Diantaranya adalah perkataan Abdullah bin Syaqiq, bahwa Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat.
Sementara orang kafir, tidak halal untuk menikahi wanita muslimah. Berdasarkan firman Allah,
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنّ
“Jika kamu telah mengetahui bahwa para wanita itu beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (para wanita itu) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Kemudian, jika si lelaki meninggalkan shalat setelah dia menikah maka nikahnya dibatalkan, kecuali jika si suami bertaubat dan kembali ke Islam. Sebagian ulama memberikan batasan sampai selesai masa iddah. Jika masa iddah selesai maka si laki-laki ini tidak boleh lagi rujuk ketika dia bertaubat, kecuali dengan akad yang baru.
Oleh karena itu, wajib bagi si wanita untuk memisahkan diri dari suaminya itu dan tidak berkumpul bersamanya, sampai suaminya bertaubat dan melaksanakan shalat, meskipun dia memiliki anak dari suami itu. Karena dalam kondisi ini, suami tidak memiliki hak pengasuhan anak (Fatwa Arkan Islam, hlm. 279).
Andaipun kita berpendapat bahwa meninggalkan shalat bukan termasuk kekafiran, istri tetap disyariatkan untuk memisahkan diri dari suaminya, sampai suaminya bertaubat. Al-Mardawi mengatakan;
إذا ترك الزوج حق الله فالمرأة في ذلك كالزوج فتتخلص منه بالخلع ونحوه
“Apabila suami meninggalkan hak Allah, maka istri dalam hal ini sebagaimana suami, dia disyariatkan memisahkan diri darinya dengan gugat cerai atau semacamnya.” (al-Inshaf, 13:321)
Hal ini, agar istri tidak dianggap merelakan sang suami melakukan pelanggaran syariat. Sebagaimana yang dinasihatkan Ibnu Allan,
وذلك لأن الرضا بالكفر الذي هو من جملة المعاصي كفر، وبالعصيان الناشيء عن غلبة الشهوة نقصان من الإيمان أيّ نقصان
“Karena ridha terhadap kekafiran yang merupakan salah satu bentuk maksiat, termasuk perbuatan kekafiran, demikian pula, ridha terhadap maksiat karena dorongan syahwat, termasuk kurangnya iman.” (Dalil al-Falihin Syarh Riyadhus Shalihin, 2:470).
Selanjutnya, perbanyaklah memohon hidayah kepada Allah. Semoga Allah membimbing anda dan suami anda untuk kembali ke jalan yang lurus.
Allahu a’lam.
No comments:
Post a Comment