Saturday, 9 May 2020

Saudara Yang Dirindukan Rasulullah




Suatu ketika Rasulullah dan para sahabat bersama di sebuah majelis, dan beliau berkata kepada Abu Bakr radhiallahu anha , “Wahai Abu Bakr, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudaraku.”

Mendengar baginda Rasulullah berkata demikian, terkejutlah para sahabat yang ada di sekitar beliau. Abu Bakr yang selalu setia menemani dan membersamai Rasulullah di dalam perjuangan dakwahnya pun bertanya, “Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu? Lebih-lebih mengejutkan lagi jawaban yang kemudian keluar dari lisan manusia paling mulia itu.

“Tidak wahai Abu Bakr, Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku.” Terasa betapa lembutnya suara Rasulullah. “Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” tegas salah seorang sahabat lain yang masih terlampau penasaran siapa yang dimaksud saudara oleh sang pembawa risalah.

Tetiba suasana hening, semua perhatian tertuju pada Rasulullah. Tak lama setelahnya, beliau memberikan penjelasan, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.”

Letak kesitimewan umat akhir zaman salah satu yang utama ialah tetap meyakini sesuatu yang bahkan tidak pernah dilihatnya. Sebagaimana meyakini hembusan angin, meski tidak pernah tahu bagaimana bentuknya. Sebagaimana meyakini perasaan yang tumbuh, walau selalu tidak berhasil menggambarknnya lewat kata-kata sekali pun. Begitulah keistimewaan kita, umat terbaik yang begitu sangat dicintai oleh baginda Nabiullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lihatlah betapa Rasulullah teramat peduli pada kita, umat yang sangat berkemungkinan untuk ingkar kepadanya. Tidak mengindahkan nasihat-nasihatnya lewat perintah Sunnah. Mari introspeksi, sudah sejauh mana selama hidup ini kita berupaya untuk menegakkan Sunnah dan mencintai Rasulullah? Sudah seberapa dekat kita dengan kehidupan yang diajarkan oleh Rasulullah?

Betapa teramat mulianya hati Rasulullah, jika mampu ia tanggungkan dosa seluruh umat ini, pastilah ditanggungnya. Jika mampu ia menangguhkan sakitnya sakaratul maut seluruh umatnya, pasti akan ia tangguhkan semuanya. Betapa berkorbannya Rasulullah, betapa pedulinya beliau pada kehidupan kita, masa depan dunia hingga akhirat kita?

Hingga di penghujung hayatnya, bukanlah istri tercintanya yang diingatnya, bukan para sahabat yang sudah menemai perjuangan dakwahnya yang ia dahulukan, bukan anak terkasihnya yang ia pintakan pengampunan. “Ummati, ummati, ummati.” Beliau justeru menutup hidupnya dengan masih terus peduli pada kita, umat yang penuh maksiat dan ingkar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Baginda terus memikirkan kita, orang-orang yang belum tentu sekali waktu bershalawat memujanya.

Tidak tersentuhkan hati kita, adakah sesosok manusia yang sepeduli Rasulullah? Meski setiap hari bertemu, dekat erat berhubungan, saat di hari kebangkitan mereka akan sibuk pada diri masing-masing. Saat mendapat kebahagiaan di dunia, mereka pun sudah sibuk menikmatinya sendiri. Lantas kepada siapa lagi kita berharap pertolongan jika bukan pada Allah dan Rasul-Nya?

Kurang apalagi kita sebagai umat, memiliki Rasul yang teramat baiknya hati, mulianya perangai, indahnya akhlaq. Masih susah untuk ingat? Masih sulit untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi yang baik-baik, masih susah beramal shaleh? Perlu dengan cara apalagi Rasulullah peduli pada kita, makhluk lemah yang berlumur dosa-dosa? Haruskah saat ruh sudah dikerongkongan baru kita sadar jika bekal masih kurang dan dosa tak terhitung?

Mari mulai peduli pada diri dan nasib kita sendiri. Mohonkan pada Allah, agar kelak diizinkan untuk bertemu dan berkumpul bersama dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

No comments:

Post a Comment